Kamis, 09 Februari 2012

Nasib Mujur

Pukul 5 pagi, langit berwarna abu kebiruan. Kurasa dekapan cinta semakin menipis. Mungkinkah karena semuanya telah biasa? Hambar. Hampa. Tanpa gelora.

Sebentar lagi hari kasih sayang. Hari Valentine yang dirayakan orang-orang. Kuingat tahun lalu, apa yang aku siapkan untuk hari kasih sayang itu? Adakah coklat yang mampir dan menggodaku untuk kulahap dengan senyuman tak habis-habis? Tidak juga. MENYEDIHKAN. Tahun lalu aku terharu biru dengan sebuah meja buatan sendiri, betapa aku mencintai orang itu, dan sekarang aku hidup seolah tidak pernah mengenalnya.

Pagi-pagi buta begini, dengan semangat demi hari esok yang lebih cerah, membabi buta atas nama cinta, bertahan dalam kondisi yang ada. Tanpa keluarga dan tetangga, terlunta-lunta dan ingin lepas tapi tak ingin melihat semuanya hancur. Ada suatu rasa yang mengusik, hingga tak ada lagi gunanya kedahsyatan cinta itu, tak ada rasa indah lagi dalam hidup ini.

Larilah bila memang itu yang terbaik, tak peduli bila yang lain tak mengerti. Aku pergi dan sekarang aku di sini. Kehidupan yang lebih baik, tetapi tetap saja aku ingin lebih, meskipun sebenarnya keinginan itu tak terlalu menggebu. Aku tak ingin cinta yang berkurang, setidaknya begitu.

Sungguh Dia adalah pembawa sukacita. Tak diributkannya tentang gangguan yang merayapiku, tetapi dihibur agar hati ini penuh dengan sukacita. Sukacita itu datang dari Sang Pencipta, tetapi pembawa sukacita itu adalah manuisa bukan? Aku tak ingin menimbulkan masalah dengan cerita yang seharusnya telah dikubur atau dibakar, lalu aku memeluk Dia dan terngiang kata-kata: bahwa aku sungguh bernasib mujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar