Minggu, 20 November 2011

Mantra

"Hati yang gembira adalah obat yang mujarab."

Kata-kata itu seperti mantra, yang layak untuk diperdengarkan di rumah sakit saat Anda sudah divonis menderita penyakit kronis dan hanya akan bertahan hidup untuk beberapa hari atau bulan lagi. Mantra itu ibarat janji pemimpin politik, yang Anda tau takkan terjadi sedemikian indahnya, tetapi diperdengarkan bagai lagu nina bobok.

Haruskah aku percaya pada mantra yang Dia ucapkan?

Dia, suamiku, pilihanku untuk mengarungi kehidupan baru bersama dalam suka maupun duka.

Tak sekalipun kutemukan Dia dalam mimpiku, tak kuduga dapat bertemu dengannya dalam hidupku ini, tetapi itulah yang terjadi, kami menikah dan hidup bersama dengan hati yang gembira.

Semua terdengar sempurna? Aku tak yakin tetapi ingin percaya. Semua yang kudambakan selama ini sebagai mimpi yang terlalu sempurna, kini ada di depan mata. Tampan dan atletis, baik hati dan penuh kasih, kecukupan moril dan materil, memimpinku memperbaiki diri menjadi lebih baik dan mengarah kepada Tuhan, membiarkan aku menenun mimpi dengan menjadi penulis, pengorbanan yang tulus dan dahsyat untuk kebahagiaanku - meski ada tetes-tetes kecil noda hitam yang tak berarti.

Lalu, dengan semua kesempurnaan itu, mengapa masih ada air mata? Adakah penyesalan memilih hidup bersama Dia? Adakah luka hatiku yang masih belum sembuh? Aku tak memahami mengapa saat aku tersenyum menatap Dia yang tertidur pulas, mataku banjir.

"Menangislah hanya pada Tuhan."

Lalu Dia mencium tanganku, dan terlelap seiring denting piano anak tetangga.